Terima Kasih, Ibu.

Kenalkan, aku Ria. Aku anak pertama dari 3 bersaudara yang dibesarkan oleh ibu. Ayah kami meninggalkan kami ketika aku berusia 8 tahun. Kala itu, ibu tampak terpukul dengan kepergian Ayah, namun ia tetap terlihat tegar di hadapan kami. Setiap malam aku melihat ibu diam – diam menangis di kamar. Aku tidak tega mendengar rintihan tangis ibu, namun aku juga tidak bisa memeluknya kala itu, aku malu untuk melakukannya.

Kini usiaku sudah 24 tahun dan sedang bersiap untuk wisuda. Tepat pada hari ini ibu dan adik – adikku mengatakan mereka akan datang ke kota di mana aku menempuh pendidikan tinggi. Aku sangat senang karena sudah setengah tahun lamanya kami tidak berjumpa.

Oh ya, selama aku berkuliah, ibuku yang memberikanku kesempatan untuk bisa duduk di bangku kuliah. Karena masalah ekonomi, ketika aku lulus SMA, aku sempat mengatakan pada ibu jika aku ingin bekerja saja dan membantu perekonomian keluarga. Namun kala itu ibu mengatakan ia tidak ingin pendidikanku terehenti di bangku SMA.

Kini aku sudah dengan bangga memakai togaku dan tengah menanti kehadiran ibu dan kedua adikku. Aku harap mereka tiba tepat waktu sehingga bisa menyaksikanku berdiri dengan bangga di depan sana dan menyebut nama ibu sebagai seseorang yang aku banggakan.

Hai, aku Mitha. Anak ke dua dari 3 bersaudara. Aku dibesarkan oleh ibu, Ayah sudah meninggalkan kami ketika aku berusia 3 tahun. Aku tidak ingat apa – apa tentang ayah, jadi aku berterima kasih kepada sebuah foto usang yang ibu pajang di ruang tamu. Karena foto itu aku tahu bagaimana paras tampan Ayah.

Kini aku, ibu, dan adikku tengah bersiap untuk berangkat menuju kampusnya Kak Ria. Ia hari ini akan wisuda dan juga berpidato singkat karena sudah menjadi salah satu mahasiswa terbaik di kampus tersebut. Aku turit bangga mendengar kesuksesan Kak Ria.

Ibu sedari tadi mengatakan ia sudah tidak sabar ingin melihat anak perempuan tertuanya itu dan memeluknya erat. Aku tahu sekali ibu sangat bangga dengan apa yang kak Ria capai.

Wanita yang telah melahirkanku ini sebenarnya selalu bangga dengan apa pun yang anaknya lakukan. Teringat aku ketika aku berumur 11 tahun. Kala itu aku mengikuti lomba menggambar, hanya saja hasil karyaku bahkan tidak masuk dalam 10 besar.

Saat itu aku sangat bersedih, aku mengatai diri sendiri bodoh dan semacamnya. Merasa bersalah karena biaya untuk mengikuti lomba itu mahal, padahal saat itu keluarga kami tengah menerima cobaan karena adikku sakit.

Namun ibu mengatakan ia tidak masalah kalau aku kalah. Ia juga mengatakan kalau jangan takut untuk terus mengikuti lomba – lomba yang ada. Ibu akan selalu mendukung dan memberikan yang terbaik untukku katanya.

Berkat ibu, kini aku mendapatkan beasiswa di salah satu kampus seni di Jakarta. Ia tidak pernah berhenti mendorongku untuk melakukan apa yang aku suka dan tidak pernah marah jika aku gagal. Ibuku adalah wanita terbaik yang tuhan kirimkan untukku.

Hai, aku Denny. Umurku 1 tahun ketika Ayah pergi meninggalkanku, jadi jangankan ingat mengenai Ayah, ketika aku lahir saja aku mengira aku memang terlahir tanpa Ayah dan berbeda dari teman – temanku lainnya. Namun foto yang ada di ruang tamu itu seakan menamparku, aku memiliki Ayah.

Menjadi satu – satunya anak laki – laki di keluarga menjadi sebuah beban tersendiri bagiku. Apalagi kami tidak memiliki sosok Ayah yang bisa menjadi panutan. Teman – temanku kerap kali mengisahkan tentang Ayahnya yang hebat, tapi bagaimana aku mengisahkan tentang Ayah?

Saat aku berumur 9 tahun, kala itu ibu membelikanku sepeda. Karena aku penasaran, aku bongkar sepedah tersebut. Namun sayangnya aku tidak bisa memasagnya kembali. Kala itu ibu membantuku memasangkan kembali bagian – bagian dari sepeda itu. Ia tampak sangat mahir melakukannya.

Ibuku hebat…

Itulah yang ada dibenakku kala itu. Karena ibu, entah kenapa kini aku termotivasi untuk menjadi seorang mekanik. Doakan aku, ya, kawan.